Cari Blog Ini

Senin, 31 Mei 2010

Universal Product Code (UPC)


UPC (Universal Product Code) digunakan secara
luas pada industri grosir khususnya di Amerika Serikat
dan Kanada. Pada kode barcode standarnya, yaitu UPCA,
terdiri atas 1 digit sebagai nomor sistem pada awal
barcode, 5 digit nomor manufaktur, 5 digit nomor
produk dan 1 digit sebagai digit cek. Nomor sistem
menunjukkan penggunaan satu diantara sepuluh nomor
sistem yang ditetapkan oleh UPC, yaitu:
- 0, 6 dan 7 untuk kode UPC reguler.
- 2 untuk barang-barang di toko.
- 3 untuk kode obat-obatan dan barang kesehatan
lainnya.
- 4 untuk barang selain makanan.
- 5 untuk penggunaan kupon.
- 1, 8 dan 9 sampai sekarang belum digunakan.
2.1. Perhitungan Digit Cek UPC-A
Digit cek dihitung dengan hasil sisa bagi (modulus)
10. Berikut adalah langkah-langkah untuk menghitung
digit cek:
1. Jumlahkan nilai digit pada posisi 1, 3, 5, 7, 9, dan
11.
2. Kalikan hasil langkah 1 dengan 3.
3. Jumlahkan nilai digit pada posisi 2, 4, 6, 8, dan 10.
4. Jumlahkan hasil pada langkah 2 dan 3.
5. Digit cek adalah angka terkecil jika ditambahkan ke
hasil langkah 4, menghasilkan bilangan kelipatan
10.
Sebuah contoh sederhana, diberikan data
barcode=01234567890
- 0 + 2 + 4 + 6 + 8 + 0 = 20
- 20 X 3 = 60
- 1 + 3 + 5 + 7 + 9 = 25
- 60 + 25 = 85
- 85 + X = 90 (bilangan setelah 85 kelipatan
10), maka X = 5 (digit cek)

Selasa, 30 Maret 2010

Pluralisme Agama di Indonesia: Masihkah Kita Bisa Berharap?


Banyak orang pesimis dan putus pengharapan perihal masa depan pluralisme agama di Indonesia. Pesimisme ini biasanya didasarkan pada beberapa indikator utama. Pertama, telah berpulangnya para tokoh agama yang gigih tanpa lelah memperjuangkan pluralisme, sementara tokoh baru dengan militansi yang sama dengan para pendahulunya tak segera matang dan dewasa. Meninggalnya Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Eka Darmaputra, TH Sumartana, Mangunwijaya, Gedong Bagus Oka, dan lain-lain tak jarang dianggap sebagai pertanda matinya pluralisme agama di Indonesia. Di lingkungan umat Islam, kepergian Almarhum Gus Dur dipandang sebagai pukulan telak bagi gerakan pluralisme. Mereka berpendirian, dengan wafatnya Gus Dur, maka langit pluralisme akan kian kelam dan buram.

Kedua, terjadi surplus kekerasan berbasis agama dan teologi. Seperti dilansir the WAHID Institute, Setara Institute, CRCS UGM, dalam laporan akhir tahun 2009 tentang indeks kebebasan beragama dan kekerasan berbasis agama, ditemukan fakta tentang kian meratanya kekerasan dan diskriminasi terhadap (umat) agama dan (pengikut) sekte tertentu. Pelakunya pun sangat beragam, mulai dari individu sampai kelompok organisasi keagamaan tertentu. Mulai dari dipersulitnya ijin pendirian rumah ibadah sampai pada pembakaran dan penghancuran rumah ibadah. Ada gereja yang dibakar. Juga ada kelompok Ahmadiyah yang hak-hak sipilnya sampai sekarang masih dirampas. Tak sedikit dari mereka yang tinggal di tempat-tempat pengungsian.

Ketiga, masih dipertahankanya sejumlah kebijakan dan perundang-undangan yang tak toleran terhadap kelompok minoritas dan agama-agama lokal. UU PNPS/I/1965 yang mengandung pasal diskriminatif itu hendak dipertahankan oleh beberapa tokoh agama yang bertahta dalam organisasi keislaman besar seperti NU dan Muhammadiyah dan tak sedikit juga dari kalangan akademisi (perguruan tinggi). Alih-alih dihapuskan, bahkan peraturan-peraturan daerah yang bias dan diskriminatif terus bermunculan di beberapa wilayah di Indonesia.

Sebagai generasi muda Islam, saya berpendirian bahwa ketiga faktor tersebut tak cukup dijadikan alasan untuk pesimis menatap masa depan pluralisme agama di Indonesia. Ketiga pokok soal tersebut sebenarnya lebih merupakan tantangan bagi pejuang pluralisme agama untuk mensolidkan dan mensinergikan gerakan. Ada banyak hal yang menyebabkan kita boleh optimis dan berpengharapan tentang cerahnya pluralisme agama di Indonesia di masa-masa yang akan datang.

Memang benar bahwa Gus Dur dan Pak Eka sudah tidak ada, tapi pikiran-pikiran pluralis keduanya sudah terlembagakan ke dalam berbagai institusi dan diterjemahkan ke dalam program-program yang lebih terstruktur dan sistematis. Misalnya ada Jaringan Islam Liberal (JIL) Jakarta, MADIA Jakarta, the WAHID Institute Jakarta, ICRP Jakarta, ICIP Jakarta, ICIP Jakarta, Dian-Interfidei Yogyakarta, YPKM Mataram, LK3 Banjarmasin, Pusaka Padang, LAPAR Makasar, Jakatarup Bandung dan lain-lain. Beberapa hari lalu baru saja terbentuk Forum Pluralisme Indonesia, sebuah forum yang dibentuk oleh sejumlah intelektual muda lintas agama untuk memperbanyak pangkalan pendaratan pluralisme agama di Indonesia. Kini sebenarnya tokoh-tokoh muda yang gigih memperjuangkan pluralisme agama kian tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Mereka bekerja biasanya tanpa sorotan kamera dan publisitas media, sehingga tampak kurang populer. Tapi, memperhatikan kerja-kerja advokasi mereka sangat mencengangkan. Melihat mereka, saya cukup optimis prihal gerakan pluralisme di Indonesia.

Selanjutnya, dalam proses transisi menuju demokrasi, sebagian negara kerap tidak stabil dan mudah goyah. Dalam konteks itu, negara biasanya tak bisa berperan secara efektif untuk melinduangi setiap warganya dari tindak ketidakadilan oleh warga yang lain. Itulah yang kini terjadi di Indonesia. Sejumlah kekerasan berbasis agama tak bisa segera dihentikan oleh pemerintah (aparat kepolisian). Pemerintah gamang untuk bertindak dan menghukum pelaku kekerasan berbasis agama karena khawatir dianggap anti-agama, persisnya anti-Islam. Citra sebagai pendukung agama (Islam) dan sekte mayoritas inilah yang tampaknya hendak ditampilkan pemerintahan Yudhoyono, dalam dua periode pemerintahannya. Dia misalnya selalu memilih menteri agama yang cenderung tidak pluralis. Aparat kepolisian pun tak sigap menangkap para “preman berjubah” karena takut divonis sebagai pelanggar HAM atau pendukung kemaksiatan. Polisi tak dilengkapi dengan jaminan undang-undang untuk menghukum para pelaku kekerasan agama.

Kelak, ketika transisi demokrasi ini sudah berakhir, negara akan kembali normal. Di situ kiranya tak ada satu warga negara pun yang hak-haknya boleh dirampas oleh warga lain, termasuk hak untuk memilih dan menjalankan ajaran agama dan keyakinan. Bahwa seseorang tak bisa dikriminalisasi karena yang bersangkutan memilih sekte dan tafsir tertentu dalam beragama. Kementerian Agama tak boleh mengintervensi dan menjadi hakim yang bisa memutus tentang sesat dan tidaknya suatu tafsir dan ritual peribadatan. Seseorang bisa dikriminalisasi bukan karena yang bersangkutan menjalankan ritus peribadatan tertentu, melainkan misalnya karena di dalam ritual itu terdapat tindak kriminal seperti kekerasan yang merendahkan martabat manusia.

Diakui bahwa sekarang banyak bermunculan Perda-Perda (bernuansa) syariat Islam. Namun, kita tak boleh ciut nyali dan berkesimpulan bahwa diskriminasi agama yang ditopang dengan struktur negara atau pemerintah akan dengan sendirinya bisa berjalan efektif. Sejumlah riset dan penelitian menemukan kelemahan dan keterbatasan dari Perda-Perda Syariat itu. Bahkan di sejumlah daerah banyak masyarakat sipil yang menentang Perda-Perda tersebut. Ibu-Ibu muslimah di Bandah Aceh marah ketika dirinya ditangkap karena menggunakan celana ketat, misalnya.

Yakinlah bahwa sejauh yang bisa dipantau, Perda-Perda itu hanya proyek partai politik demi sebuah kekuasaan. Persis di situ partai-partai politik salah melakukan diagnosa. Bahwa dengan membuat perda-perda syariat itu, partai politik akan mendulang banyak suara. Padahal, berkali-kali pemilu yang diselenggarakan di Indonesia membutikan bahwa partai politik yang menjual agama ke khalayak tak pernah menang. Bukan hanya dalam periode dulu, namun juga dalam periode sekarang. Sejumlah partai berasas agama keok dalam pemilihan umum. Saya yakin bahwa ketika kesadaran tentang tidak lakunya berdagang agama dalam ranah politik itu nanti muncul, semua partai akan berbalik haluan. Inilah yang kini terjadi misalnya di PKS juga PPP. Sungguh warga negara Indonesia makin cerdas. Mereka tak mendasarkan preferensi politiknya pada sentimen primordial agama. Berbagai survey menunjukkan tentang matinya politik aliran di Indonesia, dan pembunuhnya adalah warga negara Indonesia sendiri.

Dengan alasan-alasan itu, kita masih berhak untuk optimis bahwa langit-langit pluralisme agama di Indonesia akan makin cerah. Bahwa ada mendung yang sedikit menggantung, iya. Tapi, yakinlah bahwa mendung itu akan hilang ditiup angin perubahan dan pluralisme.

Holocaust

Holocaust (dari bahasa Yunani: holokauston yang berarti "persembahan pengorbanan yang terbakar sepenuhnya") adalah genosida sistematis yang dilakukan Jerman Nazi terhadap berbagai kelompok etnis, keagamaan, bangsa, dan sekuler pada masa Perang Dunia II.

Bangsa Yahudi di Eropa merupakan korban-korban utama dalam Holocaust, yang disebut kaum Nazi sebagai "Penyelesaian Terakhir Terhadap Masalah Yahudi". Jumlah korban Yahudi umumnya dikatakan mencapai enam juta jiwa. Genosida ini yang diciptakan Adolf Hitler dilaksanakan, antara lain, dengan tembakan-tembakan, penyiksaan, dan gas racun, di kampung Yahudi dan Kamp konsentrasi. Selain kaum Yahudi, kelompok-kelompok lainnya yang dianggap kaum Nazi "tidak disukai" antara lain adalah bangsa Polandia, Rusia, suku Slavia lainnya, penganut agama Katolik Roma, orang-orang cacat, orang cacat mental, homoseksual, Saksi-Saksi Yehuwa (Jehovah's Witnesses), orang komunis, suku Gipsi (Orang Rom dan Sinti) dan lawan-lawan politik. Mereka juga ditangkap dan dibunuh. Jika turut menghitung kelompok-kelompok ini dan kaum Yahudi juga, maka jumlah korban Holocaust bisa mencapai 9-11 juta jiwa.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Etimologi

Nama Holocaust berasal dari kata Yunani yang digunakan dalam Alkitab, yang berarti persembahan bakaran yang utuh. (Ibrani 10:6) Namun sehubungan dengan artikel ini, “Holocaust adalah penganiayaan dan pemusnahan orang Eropa keturunan Yahudi secara sistematis dan yang disponsori negara Jerman Nazi dan sekutu-sekutunya antara tahun 1933-1945.”[2]

[sunting] Kontroversi

Pengingkaran holocaust atau holocaust denial adalah kepercayaan bahwa Holocaust tidak pernah terjadi, atau jauh lebih sedikit dari 6 juta orang Yahudi yang dibunuh oleh Nazi; bahwa tidak pernah ada rencana terpusat untuk memusnahkan bangsa Yahudi; atau bahwa tidak ada pembunuhan masal di kamp-kamp konsentrasi. Mereka yang percaya akan hal ini biasanya menuduh bangsa Yahudi atau kaum Zionis mengetahui hal ini dan mengadakan konspirasi untuk mendukung agenda politik mereka. Karena Holocaust dianggap ahli-ahli sejarah sebagai salah satu kejadian paling banyak didokumentasikan dalam sejarah, pandangan-pandangan ini tidak dianggap kredibel, dengan organisasi-organisasi seperti American Historical Association mengatakan bahwa Holocaust denial sebagai "at best, a form of academic fraud."[3] Pernyataan holocaust denial di muka umum adalah pelanggaran hukum di sepuluh negara Eropa, termasuk Perancis, Polandia, Austria, Swiss, Belgia, Romania, dan Jerman.

Holocaust deniers lebih suka disebut Holocaust "revisionists". Kebanyakan ahli sejarah mengatakan bahwa istilah ini menyesatkan. Historical revisionism adalah bagian dari ilmu sejarah; yaitu penyelidikan ulang dari accepted history (sejarah yang sudah diterima secara umum) dengan tujuan untuk lebih memperjelas peristiwa tersebut. Sebaliknya, negationist dapat secara sengaja menggunakan catatan sejarah yang salah; seperti ditulis Gordon McFee: "Revisionists depart from the conclusion that the Holocaust did not occur and work backwards through the facts to adapt them to that preordained conclusion. Put another way, they reverse the proper methodology ... thus turning the proper historical method of investigation and analysis on its head." [4]

Public Opinion Quarterly juga menyimpulkan: "Tidak ada ahli sejarah terkemuka yang mempertanyakan kenyataan Holocaust, dan mereka yang mendukung Holocaust denial kebanyakan adalah anti-Semit dan/atau neo-Nazi."

Holocaust denial sangat populer dalam penentang-penentang Israel dari kaum Muslim karena memang banyak bukti yang dikeluarkan oleh ilmuwan barat sendiri yang menjelaskan kebohongan holocaust ini. Disertasi doktor Mahmoud Abbas, Presiden Palestina, meragukan bahwa kamar gas digunakan untuk membunuh orang-orang Yahudi dan mengatakan bahwa jumlah orang Yahudi yang dibunuh dalam Holocaust kurang dari 1 juta jiwa.[5][6] Abbas belum pernah menyatakan pandangan ini sejak ditunjuk menjadi Perdana Menteri Palestina pada tahun 2003, dan telah membantah bahwa ia adalah seorang Holocaust denier. Pada akhir 2005, presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad menggambarkan Holocaust sebagai "mitos pembantaian orang Yahudi." [7][8]

Sebenarnya dari kalangan ilmuwan barat sendiri ada beberapa yang menyangkal adanya Holocaust, di antaranya: Pengarang Perancis Roger Garaudy, Professor Robert Maurisson, Ernst Zundel, David Irving, dll. tetapi hampir semuanya dinyatakan bersalah dan dijebloskan kedalam penjara termasuk Pada 15 Feb 2007, Ernst Zundel seorang Holocaust denier dihukum 5 tahun penjara [1]. Seorang pengacaranya, Herbert Schaller, menghujah bahwa semua bukti tentang adanya Holocaust hanya berdasarkan pengakuan korban-korbannya saja, bukan berdasarkan fakta-fakta yang jelas. Ernst Zundel ini juga pernah ditahan pada tahun 1985, dan 1988 dalam kasus yang sama.

Semua hal di atas sangat kontras dengan slogan negara-negara barat sendiri yang menyatakan kebebasan berpendapat apalagi disertai bukti-bukti ilmiah tentang kebohongan Holocaust terutama digunakannya kamar gas oleh Nazi di Polandia, tetapi begitu menyinggung masalah yang menggugat hal ini mereka langsung memberangus habis penentang-penentangnya sehingga banyak kalangan menilai adanya lobby Yahudi yang berdiri dibelakangnya dalam mempengaruhi putusan pengadilan.[9]

[sunting] Hari peringatan Holocaust

Korban Jumlah Rujukan
Jews 5.9 million [10]
Soviet POWs 2–3 million [11]
Ethnic Poles 1.8–2 million [12]
Roma 220,000–500,000 [13]
Disabled 200,000–250,000 [14]
Freemasons 80,000–200,000 [15]
Homoseksuals 5,000–15,000 [16]
Jehovah's
Witnesses
2,500–5,000 [17]

Dengan suara bulat, didalam sidang Majelis Umum PBB pada 1 November 2005, ditetapkan bahwa tanggal 27 Januari sebagai "Hari Peringatan Korban Holocaust". 27 Januari 1945 adalah hari dimana tahanan kamp konsentrasi NAZI di Auschwitz-Birkenau dibebaskan. Bahkan sebelum PBB menetapkannya, tanggal 27 Januari telah di tetapkan sebagai Hari Peringatan Korban Holocaust oleh Kerajaan Inggris sejak tahun 2001, sebagaimana halnya di negara-negara lain, mencakup Swedia, Italia, Jerman, Finlandia, Denmark dan Estonia[18]. Israel memperingati Yom HaShoah vea Hagvora, "Hari Hari Peringatan Holocaust dan Keberanian Bangsa Yahudi" pada pada hari ke 27 bulan Nisan, bulan Ibrani, yang biasanya jatuh pada bulan April[18]. Hari peringatan ini biasanya juga di peringati oleh Yahudi di luar Israel[18].

[sunting] Rujukan

  1. ^ The Destruction of the European Jews - Revised and Definite Edition 1985,Holmes and Meier Publishers, Inc. Table B-3, p. 1220
  2. ^ Sedarlah! 8 Maret 2005, h. 15-6, Watchtower Bible and Tract Society of New York, Inc.
  3. ^ Donald L. Niewyk, ed. The Holocaust: Problems and Perspectives of Interpretation, D.C. Heath and Company, 1992.
  4. ^ Gord McFee, "why 'Revisionism' isn't," The Holocaust History Project (accessed June 8, 2005).
  5. ^ Was Abu Mazen a Holocaust Denier? By Brynn Malone (History News Network)
  6. ^ Abu Mazen: A Political Profile. Zionism and Holocaust Denial by Yael Yehoshua (MEMRI) April 29, 2003
  7. ^ Iranian Leader Denies Holocaust BBC News 14 Desember 2005
  8. ^ Tom Smith, "The Polls--A Review: The Holocaust Denial Controversy." Public Opinion Quarterly 59 (Summer 1995): 269-295.
  9. ^ Stephanie Downing, "Benarkah NAZI membantai Yahudi ? (2007)
  10. ^ Dawidowicz, Lucy. The War Against the Jews, Bantam, 1986.
  11. ^ Berenbaum, Michael. The World Must Know, United States Holocaust Memorial Museum, 2006, p. 125.
  12. ^ 1.8–1.9 million non-Jewish Polish citizens are estimated to have died as a result of the Nazi occupation and the war. Estimates are from Polish scholar, Franciszek Piper, the chief historian at Auschwitz. Poles: Victims of the Nazi Era at the United States Holocaust Memorial Museum.
  13. ^ "Sinti and Roma", United States Holocaust Memorial Museum (USHMM). The USHMM places the scholarly estimates at 220,000–500,000. Michael Berenbaum in The World Must Know, also published by the USHMM, writes that "serious scholars estimate that between 90,000 and 220,000 were killed under German rule." (Berenbaum, Michael. The World Must Know," United States Holocaust Memorial Museum, 2006, p. 126.
  14. ^ Donna F. Ryan, John S. Schuchman, Deaf People in Hitler's Europe, Gallaudet University Press 2002, 62
  15. ^ Hodapp, Christopher. Freemasons for Dummies, For Dummies, 2005.
  16. ^ The Holocaust Chronicle, Publications International Ltd., p. 108.
  17. ^ Shulman, William L. A State of Terror: Germany 1933–1939. Bayside, New York: Holocaust Resource Center and Archives.
  18. ^ a b c Harran, Marilyn (2000). The Holocaust Chronicles, A History in Words and Pictures. Louis Weber. pp. Pg.697. ISBN 0-7853-2963-3.

[sunting] Lihat pula

[sunting] Pranala luar

Commons-logo.svg
Wikimedia Commons memiliki galeri mengenai:

Holocaust

Holocaust (dari bahasa Yunani: holokauston yang berarti "persembahan pengorbanan yang terbakar sepenuhnya") adalah genosida sistematis yang dilakukan Jerman Nazi terhadap berbagai kelompok etnis, keagamaan, bangsa, dan sekuler pada masa Perang Dunia II.

Bangsa Yahudi di Eropa merupakan korban-korban utama dalam Holocaust, yang disebut kaum Nazi sebagai "Penyelesaian Terakhir Terhadap Masalah Yahudi". Jumlah korban Yahudi umumnya dikatakan mencapai enam juta jiwa. Genosida ini yang diciptakan Adolf Hitler dilaksanakan, antara lain, dengan tembakan-tembakan, penyiksaan, dan gas racun, di kampung Yahudi dan Kamp konsentrasi. Selain kaum Yahudi, kelompok-kelompok lainnya yang dianggap kaum Nazi "tidak disukai" antara lain adalah bangsa Polandia, Rusia, suku Slavia lainnya, penganut agama Katolik Roma, orang-orang cacat, orang cacat mental, homoseksual, Saksi-Saksi Yehuwa (Jehovah's Witnesses), orang komunis, suku Gipsi (Orang Rom dan Sinti) dan lawan-lawan politik. Mereka juga ditangkap dan dibunuh. Jika turut menghitung kelompok-kelompok ini dan kaum Yahudi juga, maka jumlah korban Holocaust bisa mencapai 9-11 juta jiwa.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Etimologi

Nama Holocaust berasal dari kata Yunani yang digunakan dalam Alkitab, yang berarti persembahan bakaran yang utuh. (Ibrani 10:6) Namun sehubungan dengan artikel ini, “Holocaust adalah penganiayaan dan pemusnahan orang Eropa keturunan Yahudi secara sistematis dan yang disponsori negara Jerman Nazi dan sekutu-sekutunya antara tahun 1933-1945.”[2]

[sunting] Kontroversi

Pengingkaran holocaust atau holocaust denial adalah kepercayaan bahwa Holocaust tidak pernah terjadi, atau jauh lebih sedikit dari 6 juta orang Yahudi yang dibunuh oleh Nazi; bahwa tidak pernah ada rencana terpusat untuk memusnahkan bangsa Yahudi; atau bahwa tidak ada pembunuhan masal di kamp-kamp konsentrasi. Mereka yang percaya akan hal ini biasanya menuduh bangsa Yahudi atau kaum Zionis mengetahui hal ini dan mengadakan konspirasi untuk mendukung agenda politik mereka. Karena Holocaust dianggap ahli-ahli sejarah sebagai salah satu kejadian paling banyak didokumentasikan dalam sejarah, pandangan-pandangan ini tidak dianggap kredibel, dengan organisasi-organisasi seperti American Historical Association mengatakan bahwa Holocaust denial sebagai "at best, a form of academic fraud."[3] Pernyataan holocaust denial di muka umum adalah pelanggaran hukum di sepuluh negara Eropa, termasuk Perancis, Polandia, Austria, Swiss, Belgia, Romania, dan Jerman.

Holocaust deniers lebih suka disebut Holocaust "revisionists". Kebanyakan ahli sejarah mengatakan bahwa istilah ini menyesatkan. Historical revisionism adalah bagian dari ilmu sejarah; yaitu penyelidikan ulang dari accepted history (sejarah yang sudah diterima secara umum) dengan tujuan untuk lebih memperjelas peristiwa tersebut. Sebaliknya, negationist dapat secara sengaja menggunakan catatan sejarah yang salah; seperti ditulis Gordon McFee: "Revisionists depart from the conclusion that the Holocaust did not occur and work backwards through the facts to adapt them to that preordained conclusion. Put another way, they reverse the proper methodology ... thus turning the proper historical method of investigation and analysis on its head." [4]

Public Opinion Quarterly juga menyimpulkan: "Tidak ada ahli sejarah terkemuka yang mempertanyakan kenyataan Holocaust, dan mereka yang mendukung Holocaust denial kebanyakan adalah anti-Semit dan/atau neo-Nazi."

Holocaust denial sangat populer dalam penentang-penentang Israel dari kaum Muslim karena memang banyak bukti yang dikeluarkan oleh ilmuwan barat sendiri yang menjelaskan kebohongan holocaust ini. Disertasi doktor Mahmoud Abbas, Presiden Palestina, meragukan bahwa kamar gas digunakan untuk membunuh orang-orang Yahudi dan mengatakan bahwa jumlah orang Yahudi yang dibunuh dalam Holocaust kurang dari 1 juta jiwa.[5][6] Abbas belum pernah menyatakan pandangan ini sejak ditunjuk menjadi Perdana Menteri Palestina pada tahun 2003, dan telah membantah bahwa ia adalah seorang Holocaust denier. Pada akhir 2005, presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad menggambarkan Holocaust sebagai "mitos pembantaian orang Yahudi." [7][8]

Sebenarnya dari kalangan ilmuwan barat sendiri ada beberapa yang menyangkal adanya Holocaust, di antaranya: Pengarang Perancis Roger Garaudy, Professor Robert Maurisson, Ernst Zundel, David Irving, dll. tetapi hampir semuanya dinyatakan bersalah dan dijebloskan kedalam penjara termasuk Pada 15 Feb 2007, Ernst Zundel seorang Holocaust denier dihukum 5 tahun penjara [1]. Seorang pengacaranya, Herbert Schaller, menghujah bahwa semua bukti tentang adanya Holocaust hanya berdasarkan pengakuan korban-korbannya saja, bukan berdasarkan fakta-fakta yang jelas. Ernst Zundel ini juga pernah ditahan pada tahun 1985, dan 1988 dalam kasus yang sama.

Semua hal di atas sangat kontras dengan slogan negara-negara barat sendiri yang menyatakan kebebasan berpendapat apalagi disertai bukti-bukti ilmiah tentang kebohongan Holocaust terutama digunakannya kamar gas oleh Nazi di Polandia, tetapi begitu menyinggung masalah yang menggugat hal ini mereka langsung memberangus habis penentang-penentangnya sehingga banyak kalangan menilai adanya lobby Yahudi yang berdiri dibelakangnya dalam mempengaruhi putusan pengadilan.[9]

[sunting] Hari peringatan Holocaust

Korban Jumlah Rujukan
Jews 5.9 million [10]
Soviet POWs 2–3 million [11]
Ethnic Poles 1.8–2 million [12]
Roma 220,000–500,000 [13]
Disabled 200,000–250,000 [14]
Freemasons 80,000–200,000 [15]
Homoseksuals 5,000–15,000 [16]
Jehovah's
Witnesses
2,500–5,000 [17]

Dengan suara bulat, didalam sidang Majelis Umum PBB pada 1 November 2005, ditetapkan bahwa tanggal 27 Januari sebagai "Hari Peringatan Korban Holocaust". 27 Januari 1945 adalah hari dimana tahanan kamp konsentrasi NAZI di Auschwitz-Birkenau dibebaskan. Bahkan sebelum PBB menetapkannya, tanggal 27 Januari telah di tetapkan sebagai Hari Peringatan Korban Holocaust oleh Kerajaan Inggris sejak tahun 2001, sebagaimana halnya di negara-negara lain, mencakup Swedia, Italia, Jerman, Finlandia, Denmark dan Estonia[18]. Israel memperingati Yom HaShoah vea Hagvora, "Hari Hari Peringatan Holocaust dan Keberanian Bangsa Yahudi" pada pada hari ke 27 bulan Nisan, bulan Ibrani, yang biasanya jatuh pada bulan April[18]. Hari peringatan ini biasanya juga di peringati oleh Yahudi di luar Israel[18].

[sunting] Rujukan

  1. ^ The Destruction of the European Jews - Revised and Definite Edition 1985,Holmes and Meier Publishers, Inc. Table B-3, p. 1220
  2. ^ Sedarlah! 8 Maret 2005, h. 15-6, Watchtower Bible and Tract Society of New York, Inc.
  3. ^ Donald L. Niewyk, ed. The Holocaust: Problems and Perspectives of Interpretation, D.C. Heath and Company, 1992.
  4. ^ Gord McFee, "why 'Revisionism' isn't," The Holocaust History Project (accessed June 8, 2005).
  5. ^ Was Abu Mazen a Holocaust Denier? By Brynn Malone (History News Network)
  6. ^ Abu Mazen: A Political Profile. Zionism and Holocaust Denial by Yael Yehoshua (MEMRI) April 29, 2003
  7. ^ Iranian Leader Denies Holocaust BBC News 14 Desember 2005
  8. ^ Tom Smith, "The Polls--A Review: The Holocaust Denial Controversy." Public Opinion Quarterly 59 (Summer 1995): 269-295.
  9. ^ Stephanie Downing, "Benarkah NAZI membantai Yahudi ? (2007)
  10. ^ Dawidowicz, Lucy. The War Against the Jews, Bantam, 1986.
  11. ^ Berenbaum, Michael. The World Must Know, United States Holocaust Memorial Museum, 2006, p. 125.
  12. ^ 1.8–1.9 million non-Jewish Polish citizens are estimated to have died as a result of the Nazi occupation and the war. Estimates are from Polish scholar, Franciszek Piper, the chief historian at Auschwitz. Poles: Victims of the Nazi Era at the United States Holocaust Memorial Museum.
  13. ^ "Sinti and Roma", United States Holocaust Memorial Museum (USHMM). The USHMM places the scholarly estimates at 220,000–500,000. Michael Berenbaum in The World Must Know, also published by the USHMM, writes that "serious scholars estimate that between 90,000 and 220,000 were killed under German rule." (Berenbaum, Michael. The World Must Know," United States Holocaust Memorial Museum, 2006, p. 126.
  14. ^ Donna F. Ryan, John S. Schuchman, Deaf People in Hitler's Europe, Gallaudet University Press 2002, 62
  15. ^ Hodapp, Christopher. Freemasons for Dummies, For Dummies, 2005.
  16. ^ The Holocaust Chronicle, Publications International Ltd., p. 108.
  17. ^ Shulman, William L. A State of Terror: Germany 1933–1939. Bayside, New York: Holocaust Resource Center and Archives.
  18. ^ a b c Harran, Marilyn (2000). The Holocaust Chronicles, A History in Words and Pictures. Louis Weber. pp. Pg.697. ISBN 0-7853-2963-3.

[sunting] Lihat pula

[sunting] Pranala luar

Commons-logo.svg
Wikimedia Commons memiliki galeri mengenai:

ketombe

Ketombe (juga disebut sindap dan kelemumur; dengan nama ilmiah Pityriasis capitis) adalah pengelupasan kulit mati berlebihan di kulit kepala. Sel-sel kulit yang mati dan terkelupas merupakan kejadian alami yang normal bila pengelupasan itu jumlahnya sedikit. Namun demikian, ada orang yang mengalami secara terus menerus (kronis ataupun sekali-sekali, pengelupasan dalam jumlah yang besar yang diikuti dengan pemerahan dan iritasi. Kebanyakan kasus ketombe dapat disembuhkan dengan shampoo khusus atau pengobatan bebas.

Ketombe dapat juga merupakan gejala seborrhoeic dermatitis, psoriasis, infeksi jamur atau kutu rambut. Bila mengalami ketombe, menggaruk kepala secara berlebihan harus dihindari. Menggaruk bagian tersebut dapat menyebabkan kerusakan kulit, yang selanjutnya dapat meningkatkan risiko infeksi, terutama sekali dari bakteri staphylococcus aureus dan streptococcus. Walaupun infeksi bakteri ini merupakan risiko terbesar dari ketombe, kebanyakan orang akan menemukan bahwa ketombe dapat menyebabkan isu sosial hilangnya kepercayaan diri bagi penderitanya. Oleh karenanya, pengobatan segera menjadi sangat penting untuk murni alasan sosial.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Penyebab

Sejalan dengan bertumbuhnya kulit, sel-sel epidermal akan terdorong keluar, di mana mereka pada akhirnya mati dan terkelupas dari kepala. Pada umumnya, pengelupasan ini terlalu kecil untuk dapat terlihat mata. Namun demikian, kondisi tertentu menyebabkan pergantian/pertumbuhan sel menjadi terlalu cepat, khususya umum terjadi di kulit kepala. Pada orang berketombe, sel-sel kulit mungkin mati dan digantikan setiap kira-kira dua minggu sekali, sedangkan pada orang tanpa ketombe, siklus ini berlangsung satu bulan sekali. Hasilnya, sel-sel kulit mati akan terlepas dan menumpuk dalam jumlah yang besar, yang tampak sebagai serpihan-serpihan kecil berwarna putih atau kelabu di kulit kepala.

[sunting] Nutrisi

Ketombe dalam beberapa kasus merupakan masalah nutrisi buruk, khususnya disebabkan defisiensi mineral seng. Seng dapat ditemukan dalam makanan seperti kerang-kerangan, ayam kalkun, babi, dan kacang-kacangan.

[sunting] Pengobatan

Pengelupasan dapat dikurangi, khususnya bagi mereka yang mengalami masalah ketombe yang tidak terlalu banyak, dengan perawatan rambut yang tepat. Beberapa orang memiliki persepsi yang salah dengan menolak membasuh rambut mereka, dan berpikir bahwa shampoo dapat menyebabkan kulit kepala menjadi kering dan bisa membuat ketombe mereka menjadi lebih banyak. Sebenarnya, dengan mencuci rambut secara reguler, kulit-kulit mati akan terlepas sebelum terkumpul banyak dan terlihat. Shampoo yang tepat akan membantu mengembalikan tingkat keasaman kuilt kepala yang baik, memecah minyak, dan mencegah sel-sel kulit mati bertumpuk menjadi serpihan yang terlihat. Namun demikian, shampoo yang tidak ditujukan secara khusus untuk pengobatan, ataupun shampoo yang bukan untuk pengobatan seborrhoeic dermatitis, tidak memiliki efek untuk mengobati kulit yang teriritasi dan merah.

Arsip Blog